Translate

Kamis, 26 Januari 2012

HUKUM PERBURUHAN YANG SEMRAWUT ?


HUKUM PERBURUHAN YANG SEMRAWUT ?






pada 26 Januari 2012 pukul 16:30

Selama ini,dalam hal penyelesaian kasus=kasus perburuhan,yang diatur dalam Undang-undang No.12/1964 tentang pemutusan hubungan kerja "(PHK) dan Undang-undang No.22/1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan.

Dalam kenyataannya,kedua perangkat undang-undang itu sudah tidak memadai lagi.Apa sebabnya adalah bahwa kedua undang-undang itu dalam pelaksaannya bukan saja tidak untuk menjamin adanya kepastian hukum,akan tetapi lebih sering menempatkan buruh pada pihak yang dirugikan.

Pasal3 ayat (1) UU No.12/1964 menyebutkan bahwa penguasa dapat memutuskan hubungan kerja (PHK) setelah memperoleh izin dari Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D).Dan terus selanjutnya menurut pasal 10 UU No.12/1964,PHK tanpa izin P4D tersebut adalah batal demi hukum.

UU No.12/1964 hanya dengan menyebut tentang PHK dan tidak menyebut tentang adanya "PHK sementara" atau skorsing.

Tetapi pasal 11 UU No.12/1964 mengatakan,dalam hal tersebut adanya permintaan banding terhadap putusan P4D keoada P4 Pusat,maka sebagaimana selama belum ada leputusan dari lembaga yang disebut terakhir ini,adalah baik pengusaha maupun buruh harus tetap memenuhi segala kewajiban-kewajibannya.

Artinya,pengusaha harus tetap memberi upah pada buruh (sesuai dengan pasal 1602 B.W) dan buruh harus tetap bekerja (pasal 1603 B.W).Dalam hal ini,hampir tidak ada suatu lembaga atau instansipun yang dapat memaksa pengusaha.Akan tetapi sering terjadi,dari pihak majikan menolak atau memberi upah pada buruhnya dengan alasan bahwa pihaknya masih menunggu keputusan P4D.Dan buruh harus tetap dengan terpaksa berada pada pihak yang merugikan.

Akan halnya dalam perselisihan perburuhan,dengan mekanisme penyelesaiannya diatur dalam Undang-undang No.22/1957.Pasal 1 ayat (1) butir c UU No.22/1967 merumuskan perselisihan perburuhan sebagai "pertentangan antara majikan atau kumpulan majikan dengan serikat pekerja/buruh atau gabungan serikat buruh/pekerja berhubungan dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja,syarat-syarat kerja dan /atau keadaan perburuhan".

To Bee Countinue

1 komentar:

  1. Bahwa pengusaha seharusnya sadar akan kemampuan marginalnya indeks perusahaan untuk memenuhi kebutuhan taraf hidup yang layak karyawannya, sesuai apa yang sudah saya tuliskan dibawah ini menurut peraturan perundang-undang ketenagakerjaan UU No.13 tahun 2003 sebagaimana yang kita ketahui juga pada UU No.12 tahun 1964 tentang pemutusan hubungan kerja (PHK),namun dimana juga terdapat adanya UU No.22 tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan dalam konstitusionalnya harus dijalankan dan dilaksanakan dan atau dirundingkan bersama dalam kesepakatan perjanjian kerja bersama duduk bersama yang akan menghasilkan tidak saling merugikan antara pihak pengusaha dan buruh/pekerja dalam perusahaan mereka ia bekerja dan dipekerjakan.

    BalasHapus